Buka Kursus Sepatu , Tetra Berharap Makin Banyak Orang Hidup Mapan Lewat Produksi Sepatu Rumahan
SLEMAN-Buka kursus pembuatan sepatu sekaligus menekuni sebagai coach pembuatan sepatu diakui R Yekti Tetra Herpinto sebagai sebuah profesi yang masih langka. Bagi Tetra, mengajari banyak orang hingga mandiri bisa bikin sepatu menjualnya menjadi suatu kepuasan tak terkira.
“Kalau mau menekuni di bidang produksi tentu butuh modal, bersaing dengan kompetitor. Bila mau menekuni keduanya berbarengan, produksi sepatu sekaligus coaching pembuatan sepatu, waktunya yang habis. Jadi memang mau nggak mau mesti memilih salah satu,” ucap Tetra kepada wiradesa.co di rumahnya kawasan Sleman III No 49 Triharjo RT 08/RW 10, Sleman, belum lama ini.
Bercerita seputar pergulatannya dengan dunia sepatu, sosok ramah dan supel ini menjelaskan beragam model sepatu mulai dari model paling dasar. “Pada dasarnya ada sembilan dasar model sepatu. Model pump shoes, derby shoes, oxford shoes, monk shoes, flexible shoes, slip on shoes, sneakers shoes, boot shoes, moccasin shoes,” ungkapnya. Tetra kemudian menyarankan, belajar membuat sepatu dimulai model paling sederhana yakni pump dan derby shoes.
Meski disarankan memulai belajar membuat sepatu dari ragam model paling sederhana, pada kenyataannya tak sedikit dari mereka yang ingin belajar membuat sepatu, maunya instan, langsung membuat model sepatu yang lagi ngetren. Sneakers misalnya. “Hal itu menjadi tantangan. Jadwal kursus waktunya pendek dan terbatas sementara inginnya belajar bikin model yang sulit. Sneakers, high heels, lantaran mengejar tren,” ucapnya.
Program kursus membuat sepatu selama 40 jam atau selama enam hari dijadwalkan Tetra. Proses pembelajaran mengikuti alur industri, sehari belajar tujuh jam. “Proses selama itu umumnya belum bisa langsung bikin sepatu sekali jadi. Umumnya harus diikuti praktik mandiri setidaknya tiga kali mencoba bikin sepatu baru bisa,” imbuhnya. Diterangkan olehnya, praktik bikin sepatu meliputi praktik bikin pola atau desain, praktik jahit, potong bahan termasuk skill menguasai mesin jahit, ketiga praktik ngesol,” kata Tetra sembari menerangkan kontruksi meliputi bagian upper dan bottom. Sementara bahan yang digunakan pada bagian atas (upper) berupa material kulit dan nonkulit. Bahan kulit bisa finish pull up, crazy horse, nubuck, patent, suede, dan full grain. Sementara nonkulit seperti bahan tekstil, vinyil, kain kanvas. Pada bagian bottom konstruksi sol pun bermacam-macam pilihan bahan; TPR, rubber, kulit.
Tetra yang berpengalaman bekerja selama 20 tahun pada industri sepatu di Jawa Timur dan di salah satu pabrik sepatu di Vietnam mengatakan, motivasi orang-orang belajar dan kursus sepatu kepadanya tak sama satu dengan yang lain. Sebagai guru ia berkeinginan agar orang yang belum bisa bikin sepatu menjadi bisa lalu buka wirausaha. Syukur kemudian makin banyak yang mampu mengembangkan usaha mandiri bikin aneka model sepatu untuk dipasarkan by order sehingga yang bersangkutan menjadi mandiri punya usaha pembuatan sepatu. Yang tadinya belajar dari nol harapannya suatu ketika akan menggapai kemapanan dari usaha produksi sepatu rumahan.
Namun, Tetra tak menampik, sejumlah orang yang datang kepadanya punya beragam niat. Misalnya ada orang yang datang nembung belajar, hanya agar ia tahu proses pembuatan sepatu sekadar untuk menambah produk knowledge lantaran ia sehari-hari jualan sepatu online. Dengan belajar sepatu ia akan tahu detail kebutuhan pembuatan sepatu yang dipasrahkan kepada pihak lain atau perajin. “Motivasi orang belajar sepatu umumnya ingin buka usaha atau wirausaha sepatu. Tetapi ada pula yang alasannya sangat sepele. Ada yang datang belajar hanya gara-gara geregetan pesan atau order sepatu tapi jadinya kurang enak dipakai lalu termotivasi belajar bikin sepatu sendiri,” bebernya.
Ilmu sepatu itu, ibarat ungkapan di atas langit masih ada langit. Apalagi bila sudah dikaitkan dengan seni dan teknologi. Namun, bila seseorang belajar dari nol sekalipun bila mau mendalami, konsisten belajar dengan model sama, belajar selama tiga bulan menurutnya sudah cukup dan umumnya bisa membikin sepatu. Kuncinya menurut dia, yang bersangkutan sebaiknya belajar dari dasar hingga menguasai teknik ukur, titik ukur, agar tak gagap ketika kemudian belajar mengeksplorasi aneka model sepatu. “Yang pasti, selesai ikut kursus, mau praktik,” timpalnya.
Sebagai praktisi, guru sepatu atau trainer sepatu, sekaligus punya pengalaman kerja lebih dari 10 tahun, Tetra terbilang sebagai orang yang yakin pada sebuah proses. Bahwa dalam bidang apa pun yang digeluti tak ada sesuatu yang instan. Ia menyebut, orang yang ahli dalam satu bidang setidaknya butuh waktu berkecimpung dalam bidang tersebut sekurang-kurangnya 10 ribu jam. Di perusahaan sepatu ia paling lama berada di bagian riset & development, bikin sampel prototype sepatu untuk diproduksi. Berdasar pengamatannya, dari ribuan pekerja pabrik sepatu, hanya sedikit di antaranya yang menguasai pembuatan sepatu utuh dari awal hingga rampung. “Dari 2013 hingga sekarang waktu saya full untuk mengajar orang bikin sepatu lewat jadwal kursus yang saya buka. Mengajar sepatu selain di Sleman juga di Bali, Jabodetabek paling banyak, paling jauh diundang ke Tanjungpinang, juga pernah diundang ke Trengganu, Kuala Lumpur, Malaysia,” ujar Tetra sembari menuturkan bila muridnya di Bandung sudah ada yang mampu bikin sneakers custom mirip Nike Air Jordan.
Membuka kursus sepatu semenjak 2013 berapa jumlah murid yang pernah belajar kepada Tetra? Tetra menjawab, dari 5000 kontak ponsel dan WhatsApp yang ia simpan, sebanyak 1300 kontak masuk daftar orang yang pernah belajar kepadanya perihal sepatu dan juga sandal. Kepada wiradesa.co ia menyebut besaran biaya kursus sepatu. Paket belajar sepatu selama 40 jam dibanderol Rp 3,5 juta sementara durasi belajar 100 jam ia kenakan biaya Rp 5,5 juta. Akan tetapi ada pula yang mengambil custom, minta waktu belajar tiga hari, hanya belajar membuat sandal, dengan biaya lebih ringan. “Yang mau belajar di Yogya disediakan mes, belajar jahit, pulang bisa jahit, bahan-bahan dan alat disediakan, hasil karya dibawa pulang. Bebas konsultasi via online setelah pembelajaran tatap muka di tempat kursus,” tuturnya.
Animo masyarakat belajar sepatu, lanjutnya, terbilang tak pernah sepi. Pada saat pandemi, Tetra mengaku hanya off tiga bulan. Selebihnya tetap berjalan meski jumlah peserta kursus tak selalu sama perminggunya. “Terbanyak peserta kursus usia 18-45 tahun. Ada lulusan SMA ada pula lulusan S2. Karena belajar berbayar, berinvestasi dana, pastinya yang datang memang serius ingin belajar,” pungkasnya. (Sukron)